Sabtu, 27 Februari 2010

What's Next...?

Event : Alpenliebe Band Competition 2010, USD, 25 Februari 2010

Jasmine menang....saya juara...saya yang terhebat....!!!

Hehe, artikel ini akan saya jadikan ajang meluapkan semua kebanggaan dan kesombongan saya...

Ya, saya nomer satu! Begitulah hasil penilaian dari mas juri kompetisi band yang saya ikuti kemarin. Dan, band saya menjadi juara. Diri saya berpesta, senyum saya berjingkrak di bahagia saya.

Hampir separuh hari kompetisi diguyur hujan lebat, lapangan becek, panggung basah, dan pasti...tidak ada kerumunan penonton di depan stage. Jasmine didaulat membawa 2 lagu sendiri pada lomba yang diikuti puluhan band dari Jogjakarta dan sekitarnya itu. Sebenarnya kami tidak terlalu berekspektasi pada lomba tersebut, tapi kita tetap berusaha tampil maksimal karena nggak enak sama pihak sponsor yang telah mendaftarkan band kami.

Lagu lancar, orang-orang appreciate, tenang di panggung (karena lagi-lagi kerja bareng pacar), tapi ini tanpa kolusi lho...dan setelah manggung langsung pulang. Sore hari saya datang lagi ke venue berniat manjemput pacar, eh lha kok malah pas pengumuman, dinyatakan sebagai juara 1 lomba. Kebetulan...alhamdulillah...berhadiah...kondang...bangga...bingung...

"Kok bingung, kan habis menang?"

Itulah...Saya bingung dan terbebani dengan predikat juara ini. Hasil lomba tersebut telah membawa saya ke level yang lebih tinggi dalam progres kehidupan musik saya. FYI, ini adalah kompetisi band kali kedua sepanjang karir musik saya, dan semuanya menyabet nomor satu. Sebagai orang yang keras kepala, saya berprinsip untuk tidak pernah balik kucing. Nah, karena kekerasan hati saya itulah, makanya kali ini saya bingung....karena nggak mungkin untuk turun ke level sebelumnya, harus berada di level juara ini dan higher level lagi.

"Kenapa kemarin ndadak juara ya...???"

Gelar ini menjadi beban buat saya. Gimana enggak?, orang sudah terlanjur tahu kalau saya juara, nggak mungkin dong ke depannya saya nyanyi dengan kualitas tidak juara, mau nggak mau saya harus selalu tampil selayaknya juara...Huuuuh berat, harus menanggung beban dari ekskalasi status ini, harus serius berjuang menunjukkan apa lagi pencapaian saya berikutnya, yang tentunya harus lebih baik.

Saya mencoba membesarkan hati saya dengan positive thinking bahwa ini adalah ujian dari Tuhan. Saya sudah tidak bisa mundur lagi, menjadi PR buat saya tentang bagaimana harus mempertanggung jawabkan gelar juara ini, menjadi motivasi agar saya berjuang untuk lolos dari cobaan ini, dan menjadi kawan baru untuk menghadapi tanda tanya besar dalam menanti nukilan-nukilan takdir pada cerita hidup saya ke depan...what's next?

Selasa, 16 Februari 2010

Penonton

Event : Wedding, UIN, 23 Januari 2010

Saya terkejut ketika ada seorang perempuan menyodorkan sebuah mangkok sup berisi beberapa lembar uang ribuan dan recehan di depan panggung. Hualaahhhh...tak bisa menahan tawa dan dongkol, padahal sedang konsentrasi ama lirik. Ulah perempuan tersebut, disusul beberapa jepretan kamera dan gelak tawa dari segerombolan manusia di tengah gedung, menjadi tambahan hiburan pada event wedding kali itu. Mereka puas, karena sukses ngerjain saya, tertawa karena berhasil menggangu konsentrasi bernyanyi saya, dan bangga mempermalukan saya di depan ratusan orang.

Mereka adalah teman-teman saya, yang kebetulan hadir pada wedding ini. Sering banget mereka berulah, di manapun saya tampil. Bahkan pernah suatu ketika, seorang teman bersimpuh menyodorkan sebungkus roti tawar ketika saya sedang bernyanyi. Apa maksudnya? yaaaah...untuk ngerjain, atau mungkin balas dendam pada saya karena saya juga suka mengusili mereka. Lepas dari semua tingkah gila mereka, saya mencoba positive thinking kalo mereka tuh sebenarnya mencurahkan perhatian pada saya, mereka care ama saya, hanya saja wujudnya tak lazim.

Ngomongin soal perhatian, pada dunia yang saya geluti ini, perhatian adalah sama dengan penonton. Penampil dan penonton adalah interaksi timbal balik yang saling membutuhkan untuk menegaskan peran. Penonton yang menyaksikan saya nyanyi, yang sampai saat ini kalo dijumlah mungkin lebih dari ribuan orang (sombong bgt ya...itu kira-kira akumulasi dari tahun 2005). Penonton --belum tentu penggemar lho-- beragam jenisnya, baik itu asalnya, statusnya, kelas sosialnya, gendernya, dan lain-lainnya. Dan kali ini saya akan mencoba mendefinisikan dan mengklasifikasikan orang-orang yang pernah menonton saya tampil, sesuai dengan tingkah lakunya.

1. Penonton Prospektif
Tipe penonton ini adalah orang yang secara seksama memperhatikan setiap detail penampilan saya, dan mencatat kekurangan dan kelebihan saya. Mereka biasa mengambil posisi jauh dari panggung, dengan tangan bersedekap, atau satu tangan memainkan dagu, posisi duduk ato berdiri tenang. Orang-orang penilai ini, biasanya adalah calon klien, atau dari suatu EO, yang punya kepentingan mengaudisi cocok atau tidaknya saya untuk kepentingan bisnis mereka.

2. Penonton Agresif
Mereka akan berjoget dan ikut bernyanyi di depan panggung. Ada golongan yang agresif karena alkohol, reggae dan rock n roll, ada juga yang keracunan suasana--mau nggak mau harus ikut joget--. Kelompok kedua itu biasanya terdiri dari (malahan) para bos dan executive berumur yang berjoget karena lagu dangdut. (Biasa ditemui di acara-acara internal sebuah perusahaan).

3. Penonton Atraktif
Ini mungkin yang dinamakan fans...Karena mereka ini biasanya akan mengelu-elu nama saya (berasa mirip Ariel Peterpan hehe...), minta foto, nomer hp, dan caper-caper...biasanya cewek-cewek sih, walaupun pernah beberapa cowok juga yang termasuk--yang membuat saya takut malahan--.

4. Penonton Militan
Mereka hampir nggak pernah joget, teriak-teriak atau minta foto...tapi mereka hampir selalu ada dalam setiap penampilan Jasmine. Mereka selalu update schedule kami, dan marah bila saya tampil tanpa ngabarin mereka....Penonton semacam inilah yang benar-benar saya anggap kawan setia, saya salut atas loyalitasnya yang tanpa pamrih, pada penampilan saya. Terima kasih mbak Echi dan kawan-kawan...

5. Kawan atau Lawan
Inilah jenis penonton paling aneh....Seperti yang saya ceritakan pada awal artikel ini. Mereka teman-teman dekat saya, yang selalu berulah ketika menonton saya, mulai dari tragedi duit receh itu, roti tawar, ngulik efek sound system yang bikin suara saya ngecho nggak karuan, ngliatin gambar bokep pas saya nyanyi sehingga konsentrasi buyar, selalu ngece dengan komentar yang sadis dan jahat, dan banyak lagi yang pokoknya usil dan jail...tapi saya tahu, mereka sayang sama saya....hehe

6.Penonton Istimewa
Yang ini selalu ikut, tapi jarang-jarang notice ama aksi saya di panggung, bahkan cuek sambil mainin fesbuk, tapi kadang menjadi penepuk tangan pertama saat penampilan saya garing, dan dia selalu memuji saya sepulang panggung walaupun sudah jarang terkesima. Dia setia menemani kehidupan kesenian saya, dialah kekasih saya.

Selasa, 09 Februari 2010

Kerja Adalah Cinta

Event : Samsung, Amplaz, 23 Januari 2010

Saya sedang menonton bioskop bersama Santi Zaidan saat hp kami berdua berdering berurutan. Terganggu sih memang, karena lagi asyik nonton kok ada telepon, tapi harus diangkat karena kayaknya penting. Ehh ternyata kami berdua ditelepon oleh orang yang sama, dapat tawaran job di tempat yang sama, dan tanpa banyak basa-basi dan nego yang alot, kami langsung meng-iya-kan tawaran itu karena tau bahwa saya akan ngejob bareng dengan pacar. Fyi...saya punya pacar yang berprofesi sebagai MC...hehe.

Kerja adalah cinta, penggalan kata-kata dari Sang Nabi-Kahlil Gibran sebagai judul di atas, mempunyai banyak korelasi dengan situasi saya saat itu. Gimana nggak, saya bahkan hampir nggak peduli dengan jumlah fee yang ditawarkan sang penelpon tersebut, dan nggak ngeyel pada rundown yang sudah dibuat, walaupun untuk event tersebut saya harus nyanyi 3 sesi dalam sehari (biasanya saya pasti sudah ribut dengan organizernya untuk masalah rundown dan fee). Begitu juga dengan pacar saya, dia juga nggak ada masalah meski dapat jatah ngeMC seharian. Saya jadi berpikir, apakah apa yang kami lakukan ini profesional? Bahaya kalo sampai para EO itu tahu kelemahan saya ini, pasti akan sering ada job "paketan" nyanyi dan MC ini yang karena kerja ama pacar trus harga murah gapapa...

Memang terasa "beda" saat kita bisa bekerja dengan cinta (dalam konteks saya adalah pacar), beruntungnya saya, di dunia panggung nggak ada aturan seperti kebanyakan perusahaan yang melarang pasangan kekasih/suami-istri untuk bekerja bareng. Saya jadi membayangkan masa jaya Anang dan Krisdayanti...hihi...Apakah mereka juga lantas mau dibayar murah untuk job "paketan"....??!!

Dalam pelajaran teori pekerjaan dan celoteh dari para motivator di televisi, menyarankan agar kita mencintai pekerjaan kita, mengerjakan apa yang kita cintai, supaya memperoleh suasana yang bagus untuk mengoptimalkan produktifitas.

Saya cinta nyanyi, dan saya juga mencintai "partner" kerja saya, so...suasana kerja saya untuk event ini berarti oke banget. Dan saya yakin kok, mau kerja dimanapun, kalau kita berhasil dapat mood yang bagus, pasti kerja menjadi sesuatu yang tidak membebani, apalagi termotifasi oleh penghasilan yang gede, pastilah kita ini tambah semangat.

Job desk, partner/lingkungan kerja, duit, kayaknya ketiga hal tersebutlah yang jadi pertimbangan utama setiap orang, walaupun tidak selalu beruntung bisa jatuh cinta untuk ketiga hal tersebut. Trus gimana ya seandainya pekerjaan saya tidak nyanyi, tidak duet sama pacar, apakah saya tetap akan bekerja dengan cinta? atau hanya sekedar mencintai perut saya yang isinya didominasi sebagian besar gaji saya? gimana kalau kebutuhan jiwa saya akan "mencintai kerja" tidak terpenuhi...?

Yang saya takutkan dari suasananya kerja yang nggak enak, atau jenis pekerjaan yang membosankan, adalah menurunnya kualitas kerja saya, padahal rejeki mungkin datang pada hal-hal yang tidak kita cintai. Mungkin saja suatu hari nanti saya tidak dapet duit lagi dari nyanyi, dan memenuhi kebutuhan anak istri saya dengan bekerja sebagai PNS--nauzubilah minzalik--.

Kalau sudah begitu, apa ya trus saya akan menafkahi keluarga saya dengan menggerutu setiap hari?
Atau mungkin nanti saya akan jatuh cinta setengah mati pada pekerjaan yang memberikan saya rumah di lokasi elit, mobil baru, motor trail, biaya sekolah anak yang terjamin, meski job desknya membosankan dan suasana kerja yang kur-ok?
Trus, saya masuk kategori yang cinta kerja karena duit, atau cinta kerja karena cita-cita?

Saya juga nggak tau gimana harus menyikapi bila itu terjadi, tapi pada perjalanan pulang dari panggung ngejob "paket" itu, saya teringat pacar saya ngomong,

"Mas, jangan lupa bilang alhamdulillah...."

Sabtu, 06 Februari 2010

Lagu Kebangsaan

Event : Nokia, Amplaz, 24 Januari 2010

Lagu kebangsaan.
Itulah sumber masalahnya. Yang bermasalah itu saya. Saya kecewa pada diri sendiri. Pada event ini, request dari penyelenggara sebenarnya sudah jelas dan sudah dibrief seminggu sebelum hari H, yaitu harus menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu lain yang berbahasa Indonesia.

Mental pongah dan jumawa saya mengiringi perjalanan ke tempat manggung. Saya merasa, akan sangat mudah bila "cuman" menyanyikan lagu-lagu tersebut. Latihan pun hanya dilakukan 10 menit sebelum naik panggung, dengan gitar bolong di belakang panggung (jangan ditiru!!! ini ternyata bukan karena saya hebat, tapi karena sok jago, congkak, sok menggampangkan dan meremehkan masalah).
Bahkan kalimat sombong inipun,"walaaah, gampang...wong cuman lagu-lagu Indonesia gitu kok", sempat keluar dari mulut saya. Huuh, saya menyesal (dan merasa menjadi orang hina) karena melakukan itu semua.

Alhasil, keadaaan kacau dan memalukan ketika saya terjebak dalam "kelupaan", saat lagu legendaris Kebyar-Kebyar ciptaan (alm) Gombloh mencapai pertengahan, setelah reff. Sudah berusaha menutupi kesalahan dengan improvisasi semaksimal mungkin. Tidak berhasil, dan berlanjut (lagi) pada 2 lagu kebangsaan selanjutnya, Garuda di Dadaku (Netral), dan Bendera (Eross).


Mungkin inilah hukuman untuk sifat buruk saya yang selalu memandang sebelah mata lagu-lagu dengan lirik kebangsaan. Saya mendadak merasa berkhianat terhadap negeri ini, saat ternyata lebih hapal menyanyikan lagunya Jason Mraz atau The Beatles. Belum seberapa, penyesalan itu melayang ke pikiran yang lebih jauh lagi, apa jadinya kalau suatu saat harus menyanyikan lagu-lagu daerah, misalnya tembang macapat (tembang Jawa). Pasti akan lebih mati kutu.

Tidak perlu menyalahkan SBY, Jero Wacik, anggota DPR, dosen, guru, televisi, internet, Amerika Serikat, atau siapapun, dan ataupun mencari alasan apapun untuk "ketidak bisaan" saya menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, yang notabene adalah lagu dengan bahasa yang sudah saya pelajari dari TK. Atau kalau mau fakta yang lebih mencengangkan lagi :

"Saya Paksi Raras Alit, lahir dan besar selama 24 tahun ini, di Jogjakarta, Sarjana Sastra Jawa (7 tahun kuliah), profesi penyanyi, tapi tidak bisa nembang bahasa Jawa (alasan saya adalah lupa). DAN SAYA SANGAT MALU."


Kamis, 04 Februari 2010

Seniman, Waktu, dan Senyuman ( 2 )

Event : Pameran Seni Rupa, Bentara Budaya Yogyakarta, 8 januari 2010

Kali ini (mungkin) saya yang salah. Hampir terjadi selisih paham yang wagu antara saya dengan kawan-kawan penyelenggara acara di Bentara Budaya.

Alkisah tentang (lagi-lagi) seniman, topik kali ini tentang cara komunikasi. Ini (mungkin) karena intuisi saya yang kurang peka dan belum terlatih untuk merespons omongan para senior saya. 2 hari yang lalu--pada event Biennale di stasiun Tugu-- saya bertemu dengan mas Felix (seorang perupa) dan terjadilah "pembicaraan" yang intinya meminta bantuan saya dan mas Encix untuk tampil pada opening pameran seni rupa di Bentara Budaya. Singkat cerita, mungkin disebabkan obrolan kami yang terlalu pede dan terlalu mengandalkan indera keenam untuk menangkap maksud masing-masing, maka tidak menyatulah rumusan obrolan tersebut --tentang detail teknis acara--.

Sehari setelahnya, kami --saya, mas Encik, dan mas Felix-- masih terlibat kontak via sms tentang rencana acara di Bentara itu, dan isi smsnya pun sama sekali (menurut naluri saya) belum menjelaskan teknis acara besok. "Ya sudah", pikir saya, berarti tinggal menunggu kabar selanjutnya. Sampai pada Jumat (8/1) jam 19.25, saya dan otak saya masih sepakat untuk berpikir bahwa acara ini cancel, karena tidak ada kabar. Eeeeh...lha kok pucuk di cinta ulam tiba, telepon berdering, dari mas Felix yang kira-kira begini bunyinya "kok durung teka, wis dienteni kanca-kanca neng Bentara".

Bagai pemadam kebakaran, atau dokter ICU, atau tim Gegana, atau bencong digrebeg Pol PP, saya bergerak secepat kilat...dalam waktu 15 menit saya sudah sampai Bentara Budaya, itupun sudah termasuk mandi, dandan, ngontak (plus dipisuh-pisuhi) mas Encik, dan siapapun player Jasmine yang lagi free.

Acara akhirnya dimulai (opening diundur karena menunggu kehadiran band...hehe) dan sekali lagi saya menemukan spirit yang sama dengan acara Biennale 2 hari lalu. Bedanya kali ini, lebih banyak "additional" player yang ikut naik panggung --banyaaaaaak banget...tanpa berkenalan, tanpa latihan, dan tanpa "sinkronisasi" tentunya-- dan tak satupun panitia yang menyusun rundown. Bentara Budaya malam ini meriah....penuh canda tawa, gojekan, saling ngerjain satu-sama lain, pemain dan penonton ambyur akrab jadi satu, seolah-olah sarana melepas stress (sejak kapan seniman stress???), tapi tetap serius saat memberi tepuk tangan pada performer di panggung.

Gelaran "apresiasi kecintaan akan seni" inipun berakhir ketika saya sudah capek nyanyi--jam 10 malam lebih--. Tidak ada rules untuk malam itu, kecuali semua yang anda lakukan di atas pentas harus bernilai artistik...(ambigu).

Saya heran dengan komunitas ini, padahal nggak ada undangan resmi, tapi solidaritas dan pengartian "setia kawan" antara para seniman itu begitu dalam. Saat salah satu "anggota" punya hajat berkesenian, (di manapun itu, asalkan terjangkau) maka teman-temannya pasti akan hadir --walaupun cuma datang untuk gojek dan gojek lagi--. Tapi saya berani jamin, (gojek) itu dilakukan dengan sangat tulus, semata-mata untuk menghargai hajatan/karya kawan.

Rasa handarbeni yang aneh akan arti "komunitas seniman".....

Seniman, Waktu, dan Senyuman ( 1 )

Event : Biennale 2010, Stasiun Tugu Yogyakarta. 6 januari 2010

Ini bukan berniat mendiskreditkan Seniman! Karena mau nggak mau (susah untuk memungkiri atau lari dari kenyataan ini...) saya juga sudah terlanjur dicap sebagai salah satu seniman, walau masih newbie dan belum menyumbang karya yang signifikan pada dunia ke"seniman"an ini. Tapi saya tetap bangga kok mengaku jadi seniman, bila berada di waktu, tempat, dan ketemu orang yang tepat...hehe...

Begini ceritanya, hari Selasa (5/1) tengah malam, saya dibangunkan oleh telepon dari mas Encix (seniman senior yang entah anda tau atau ngga...) yang meminta bantuan saya untuk terlibat dalam suatu rangkaian acara Biennale keesokan harinya. Dadakan memang, dan seperti biasanya ketika kami ngobrol, jarang-jarang terumuskan hal serius dan terstruktur, pasti lebih banyak gojeknya, tapi dari percakapan singkat itu sudah dapat saya bayangkan bagaimana teknis acara keesokan hari tersebut, karena telah keluar beberapa kata kunci "tulung...guyub...demi komunitas...acarane nyante kok...sesuk tak kabari meneh...". Bagi anda yang hobi bersosialita dengan kalangan seniman, atau paling ngga anda punya teman dengan spesifikasi gapyak, humoris, nyentrik, dan temannya banyak banget, pasti anda juga sudah bisa menggambarkan maksud perkataan si mas Encix tadi.

Saya datang ke venue yang sudah dijanjikan tepat jam 13.35, karena "briefing" via phone semalam katanya saya mulai nyanyi jam 14.00. Apa yang terjadi...setelah berkeliling stasiun Tugu Jogja, tak satupun ketemu sebuah tempat yang mirip dengan panggung, ataupun orang yang mirip panitia. Saat hampir putus asa, nampaklah seseorang (kalo yang ini, tanpa perlu menginvestigasinya, anda pasti langsung yakin kalo dia seniman) gimbal, celana pendek sobek, dan bingung....dialah mas Samuel "gimbal", saya mendatanginya hendak bertanya, tapi sebelum sempat mulut ini berujar, dengan tersenyum santai dia berceloteh "sik ya, tak golekne panggon sing pas dinggo gawe panggung"......Tidak boleh marah! Itulah aturan tak tertulis dalam komunitas yang "luar biasa" ini. Kebetulan juga Pram dan Joko Prancis sudah datang saat itu, karena "orderan" semalem adalah : main dengan mengajak teman-teman Jasmine yang "bersedia" datang.

Jam 14.20, mas Encik nelpon, "le, acarane sido lho,mengko jam-jam 4an". "Jam loro lhooooo....." itulah jawabku, tentunya disambut suaranya terkekeh puas dan bahagia di speaker hanphone. 15 menit berikutnya, saya memutuskan untuk cabut dulu dari stasiun, untuk nyicil kegiatan lain. lha kok di jalan keluar stasiun papasan dengan pick up bermuatan sound system yang dikendarai orang gondrong dan lumayan lethek juga, tapi sumringah. Hmmm soundnya aja baru dateng...., saya mengestimasi waktu 2 jam sampai panggung dan sound benar-benar ready set.

Jam 16.30 saya datang lagi (saya pikir saya sudah telat), saat itu suasana di halaman sekitaran peron stasiun Tugu meriah banget. Bayangkan sejenak bila kampus ISI Sewon + Prawirotaman + Sosorowijayan + Taman Budaya Yogyakarta + stasiun Tugu, direlokasi menjadi satu tempat saja. Begitulah kira-kira keadaannya ketika stasiun tugu penuh dengan kumpulan seniman, bule, kanvas (plus pelukisnya), orang nongkrong, wartawan, dan beberapa polisi. Tentunya para pelancong yang baru saja turun dari kereta, pasti shock dengan suasana tempat saat mereka menginjakkan kaki pertama di bumi Jogja. Para penumpang kereta yang "takjub" itu menambah "kemeriahan" tempat itu. Saya sempat bercakap-cakap dengan salah seorang teman pelukis di situ, tentang 'apa yang ada dipikiran para penumpang yang turun dari kereta ketika mereka menyaksikan ulah kita'...yang menyambut kedatangan mereka dengan menegaskan jargon "Jogja Kota Seniman".

Jam 17.00 WIB, mendung, dan panggung (baru saja) siap. Hehe...harus ada pemakluman dan jiwa legawa dengan acara seperti ini. Saya sudah bersiap-siap ngejamm nyanyi, hari itu rencananya saya berkolaborasi dengan mas Encix n friends + Jasmine, tapi yang namannya tempat beranjangsana para seniman, akhirnya banyak juga personel musik yang bergabung dan menggilir microphone, sekalipun MC (yang juga giliran) sudah mempresent susunan penampilnya. Saya pun baru naik panggung jam 17.30 (dari "rundown usil" jam 14.00) dan dapat jatah sekitar 5 lagu.

Di tengah suara hilir mudik kereta (bisa bayangkan kan gimana berisiknya?) dan nada intro dari pusat informasi untuk kedatangan/keberangkatan kereta yang sangat khas dan sama di stasiun manapun di Indonesia, event itu akhirnya (jadi) dilangsungkan. Tapi jujur, suasana seperti ini yang saya suka, design venue (dan tentunya design "suasana") yang sangat-sangat-sangat...dan sangat artistik. Bayangkan, panggung kecil tempat saya nyanyi, dikelilingi puluhan kanvas dan pelukis plus modelnya --bapak walikota Jogja dan TNI juga menjadi modelnya--, trus dibelakang susunan lukisan tersebut, ada background puluhan penonton, hiruk pikuk orang-orang di stasiun, dan (jangan lupa) lagi-lagi suara kereta lewat yang selalu menelan suara saya ketika nyanyi. Itu untuk layout-nya, untuk aura ataupun suasana yang tercipta, huuuuf...eksotik, ceria, sumringah, guyon abisssss, pokoknya saya selalu suka jika berkumpul dengan seniman-seniman ini.

Akhirnya adzan Maghrib menghentikan semua kegiatan kita, harus segera pulang, karena malamnya ada jadwal reguler Jasmine. Padahal masih pingin ngobrol dan gojek bersama mereka...manusia-manusia yang mengabdi tulus pada seni, dan pada senyuman....


Orang-orang yang selalu tersenyum itu (bukan berarti gila, tapi ada juga yang memang bener-bener gila), saya bangga telah dilibatkan dalam kegiatan komunitas itu, walaupun :

1. Jam tangan seniman dan jam manusia umum itu kadang nggak sama.
2. Harus legawa dan pandak jika bercanda dengan mereka, jangan gampang kagol atau marah kalo digarapin...(meski anda harus datang 2 jam sebelum acara dimulai karena dikerjain).
3. Jika pingin menjalin hubungan dengan seniman, jangan pernah men-silent apalagi mematikan hp anda saat tidur, karena kadang jam 2 malam pun anda akan di telepon(yang seringkali cuman ngajak gojek).
 
Copyright 2009 PAKSI JASMINE. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan