Senin, 13 September 2010

Was I Born to Sing?

Event : Off, Lebaran 2010

Kali ini bukan cerita di panggung, tapi justru cerita karena libur manggung. Yah, 1 minggu full tanpa sedikitpun manggung nyanyi karena lebaran. Ternyata nggak bisa, ternyata bingung, ternyata masih curi-curi nyanyi di kamar mandi (walaupun tetap nggak sampai hati untuk khilaf pergi ke tempat karaoke), ternyata sedih (karena nggak dapat penghasilan...hehe). Saya nggak berlebihan, bernyanyi mengisi rutinitas saya. Menyanyi membuat saya dapat duit, dapat pacar, saya bisa caper, saya dipuja, saya jadi merasa keren--sumpah saya ngerasa ganteng banget kalau baru pegang mic....

Liburan ini, saya kehilangan ritual untuk memenuhi kebutuhan narsis saya. Apalagi setelah ramadhan + lebaran ini, dimana otak saya mengalami fase super sibuk, kadang hilang konsentrasi menyanyi. Sebulan terakhir ini saya mencoba membagi kemampuan berpikir saya dengan bidang profesi lain, ya semacam bisnis coba-coba gitu, tapi ternyata hal tersebut benar-benar menguras jiwa dan raga. Saya sempat mengalami kegelisahan, out focus, dan kehilangan passion dalam bernyanyi gara-gara bisnis baru tersebut. Gawat....saya mengalami krisis konsistensi....

Hampir satu setengah bulan saya menganak tirikan seni suara, yang ternyata hukumannya parah, saya benar-benar kepingin libur ini segera berakhir, saya ingin manggung lagi....

Ini bukan sekedar sensasi menjadi glamour berpredikat anak band. Kalau dikenal orang dan disukai banyak orang itu saya anggap sebagai resiko pekerjaan, karena memang tugas seorang penyanyi adalah menghibur orang, jadi wajar donk kalau orang senang dan terhibur. Lepas dari itu semua, saya mencintai ini, sungguh. Inilah cita-cita saya dari kecil, MENJADI PENYANYI. Ya insyallah suatu saat nanti saya menjadi terkenal dan legendaris, Amien....

Ada kepuasan yang sulit sekali dimengerti takarannya saat saya bernyanyi. Mungkin sebuah rasa yang fana, yang hanya bisa diukur dengan arogansi dan egoisme si pelaku saja. Kalau banyak yang bilang itu nggak bisa dibeli dengan uang, emmm...bisa saja itu benar, tapi saya tetep nggak mau nyanyi kok kalau nggak dibayar...hehe.

Pernah banyak orang menyangsikan dan meminggirkan status profesi seorang penyanyi, ya anda tahu sendirilah, seniman sama dengan abnormal untuk ruang-ruang pikir konservatif, penyanyi ibarat rombongan pengelana lautan waktu yang hanya berkayuh angan-angan.

Terkadang benturan-benturan tersebut memang menggoyahkan langkah saya, tapi tidak pernah sedikitpun mengendurkan niat saya untuk tetap di sini. Masih tetap meyakini, bahwa Tuhan sudah menuliskan nama-nama peran dalam naskahNya, dan sampai babak ini, saya masih berperan sebagai penyanyi. Semoga saja, sampai tirai panggung drama itu tertutup, saya masih diberi adegan bernyanyi, yang pastinya akan dengan sangat ikhlas saya melakonkannya, karena saya percaya bahwa inilah arti kehidupan saya, dan akan saya abdikan, untuk seni....

Selasa, 06 Juli 2010

KEDAI 24

Event : Kedai 24, Geronimo 106.1 FM, Kamis 22.00-24.00, Juli 2008-now

Saya ingat betul saat kecil dulu saya pernah berkeinginan seandainya nyanyian saya terdengar di dalam radio. Maklum masa kecil saya adalah masa-masa dimana radio masih menjadi idola dan masih menjadi pesaing tangguh TV. Waktu membawa saya beranjak besar, keinginan tersebut justru semakin kuat manakala saya kian terjerumus dalam lika-liku dunia menyanyi.

Harapan itu lantas bertemu dengan kenyataan 2 tahun lalu, saat saya diajak ketemuan sama Santi, penyiar Geronimo, dan menawari Jasmine untuk main di acara Kedai 24 Geronimo, kebetulan dia adalah produser dan host acara ini. Pucuk di cinta, dan memang benar2 cinta ini, kami iyakan tawaran untuk menjadi homeband Kedai 24. Kereeeeen, jadi band radio, at least salah satu impian saya terwujud (thx God...), dan lebih aduhainya lagi, sang produser cantik tersebut tak lama kemudian terbius mantra suara yang selalu saya rapalkan saat siaran Kedai 24, dan jatuh cinte deh kite....pacaren deh ampe sekareng...hehe...

Bulan ini, tepat tahun kedua Jasmine main di Kedai 24. Begitu banyak hal yang saya dapatkan di sini. Saya akan mengesampingkan balada romansa sang penyanyi dan sang penyiar, saya akan membicarakan hal yang lebih mambu-mambu musik aja...

Acara live on air setiap kamis malam jam 10-12 di 106.1 Geronimo FM ini telah menghasilkan band-band besar, yang merupakan alumni pengisi acara talkshow ini. Sebut saja Harry Goro dan Geronimo band, Jikustik, dll. Berharap dan berdoa sih, semoga kelak Jasmine mengikuti jejak mereka menjadi sukses...Amien.

Saya pastinya sangat bangga menjadi bagian dari radio terbaik di Jogja ini, tentu saja pamor saya dan Jasmine jadi lebih oke dengan nyatut embel-embel bandnya Geronimo...hehe. Tapi memang ada benarnya, Geronimo telah merubah paradigma berpikir saya tentang musik dan hiburan. Proses dan kemasan kreatif Jasmine pun berubah, yang semula band saya hanya berorientasi hiburan murni, asal mainkan lagu orang, menghibur, dapat duit, pada akhirnya Geronimo memberikan sebuah wacana baru tentang pendekatan seni musik sebagai media hiburan dan industri. berawal dari situlah, kami mulai berkarya menciptakan lagu sendiri, concerning pada urusan brand, promo, dan progress pengembangan karier. Jadilah seperti sekarang ini, Jasmine yang tetap ngamen tapi juga merintis jadi artis....hehe

2 single Jasmine telah mengudara via radio ini, dan alhamdulillah responnya lumayan oke di masyarakat, saya juga nggak peduli dengan tuduhan adanya nepotisme maupun konektivitas khusus antara Jasmine dan Geronimo, walaupun memang itu benar.... lha gimana enggak, orang penyiarnya adalah pacar saya, pastilah dia itu muterin lagu saya kalau siaran....Tapi disamping itu semua, Geronimo khususnya Kedai 24 mempunyai peran yang sangat besar untuk menempatkan saya pada level karier saat ini (yang insyallah lebih baik) dalam dunia menyanyi. Hmmm...saya mendapatkan segalanya disini, karier, fans, teman, pengalaman dan pelajaran, dan termasuk perempuan pendamping hidup terbaik saya....

Tak berlebihan kiranya jika saya menasbihkan Kedai 24 Geronimo sebagai salah satu tempat yang berpengaruh besar dalam mengubah kehidupan saya, terutama dalam penggemblengan karier musik saya, dan memasukkannya dalam deretan "panggung" terbaik saya sampai saat ini, selain Malioboro dan Sastra UGM.

Terima kasih, Geronimo....

Selasa, 08 Juni 2010

ROCK DJ

Event : Flight 1061, Geronimo Birthday Bash, Hugo's Jogja, 5 Juni 2010

Dalam 3 weekend belakangan ini, saya mengalami 3 pengalaman istimewa dalam catatan panggung saya. Setelah kisah dirigen Indonesia Raya, Cross Bottom, yang terakhir adalah nyanyi featuring DJ.

Hampir mirip elektone atau organ tunggal, tapi yang ini keren, bukan keyboard, tapi seperangkat alat ngedije. Saya duet tampil dengan Dj Rhino, kami membawakan 1 lagu yang lumayan ngerock jadinya. Ini hal baru bagi saya, tampil diiringi musik ajeb-ajeb DJ, dalam aura dugem abis.

Seperti yang anda tahu, tempat ajojing kayak gitu identik dengan alkohol, music, dance, sex, drugs...dan pemuas kesenangan lainnya, jadi nuansa yang terbentuk benar-benar suasana pesta, hura-hura, suka-suka. Hugo's memang ramai banget malam itu, banyak artis datang juga, maklumlah ulang tahun radio yang cukup tersohor di Indonesia. Agak canggung juga sih bagi saya, karena terus terang saya bukan penyuka dugem, dan mau nggak mau harus membaur dengan kegemerlapan tempat itu. Tapi, kecuali musik dan dance, saya boleh bangga menyatakan saya 100% clear malam itu dari embel-embel negative dugeman.

Saya bersih malam itu, totally no drugs no alcohol...Inilah hal terberat yang saya rasakan malam itu, dibandingkan dengan penampilan saya di panggung. Memang dari awal, saya bercita-cita untuk nge-test janji saya untuk tidak minum lagi. Susah, mau mengelak gimana lagi kalau setiap jengkal langkah kita tersaji minuman, dan malam itu banyak gratisan pula, dan sebagai bekas peminum berat, godaan itu terasa sangat berat. Saya hanya ingin menguji, sekuat apakah diri saya yang sudah hampir 2 tahun ini berhenti minum, dan ingin merasakan bagaimana sih jika nyanyi di tempat dugem tapi nggak mabuk, apa masih bisa ngangkat atau nggak....

Penampilan saya cukup lancar sih, at least banyak yang tepuk tangan. Dalam hati saya, i made it, ternyata bisa tetap menghibur juga walaupun cuman minum air putih dan soda. (Dapat voucher gratis Jack Daniel's dan bir, tapi cuman saya tukarkan dengan segelas coke) hehe...

Terus terang saya sangat gembira dengan pencapaian saya malam itu, tampil oke, banyak kawan datang, dan saya "zero alcohol". Ini bukan karena nggak enak sama pacar saya yang malam itu hadir juga, tapi ini sudah merupakan komitmen pribadi saya untuk berusaha menjadi penyanyi yang benar-benar waras dan menampilkan kemurnian potensi panggung saya tanpa harus terdoping oleh alkohol maupun drugs.

Saya benar-benar ingin menjauh dari image bahwa seniman, penghibur, atau anak band itu selalu identik dengan dunia hitam. Memang dulu di awal karir, saya termasuk yang gituan...hehe, parah banget malah....Tapi semenjak gabung dengan Jasmine (yang kebetulan nggak pada doyan minum juga), saya ingin join aja ke golongan para penyanyi yang hidupnya bersih, profesional dan tetap ngangkat...

Hmmm, jadi seniman baik-baik aja...semoga tetap bisa menghibur...Amien.

Selasa, 01 Juni 2010

9 Tahun - Cross Bottom

Event : Cross Bottom, SMA 9 Yogyakarta, 29 Mei 2010

Sebuah pengalaman baru lagi....Saya menjadi vokalisnya Cross Bottom!!! Beberapa dari anda mungkin masih ingat kejayaan band ini di awal 2000an, dengan salah satu hits legendarisnya bertitle "9 tahun".

Dadakan??? Pastinya....! H-6 sebelum manggung, saya baru dikabari, dan terpaksa hanya bisa latihan 1 kali untuk 5 komposisi lagu. Saya jelas nggak ada yang hapal liriknya, kecuali lagu "9 tahun" itu. Jadilah berbagai cara dilakukan untuk mengahapal lirik, tak berhasil juga...terpaksa ngeprint lirik lagu dengan font besar (24), lalu saya tempelkan di panggung. Jadi lantai panggung lumayan berserakan kira-kira 7 halaman kertas lirik...

Bersama Cross Bottom, saya main di acara pensi Sma, dan herannya lagi, band ini tetep ngangkat. Apalagi saat lagu "9 tahun" berkumandang...wuiiih, rameeee...heran, ternyata masih pada tahu, padahal kalau nggak salah lagu itu dilrilis tahun 2004, sudah uzur untuk anak SMA jaman sekarang...

Ngomongin tentang "9 tahun", percaya nggak percaya, ketika lagu itu booming di Indonesia tahun 2004-2005, saat itu saya masih bergabung dengan Terang Bulan, Malioboro. Dan salah satu songlist andalan kami untuk ngamen waktu itu, tak lain tak bukan adalah lagu "9 tahun" ini. Lagunya memang keren, beat-nya asyik dan liriknya juga "dalem". Pada waktu itu, ngamen dimanapun, lagu ini nggak perngh absen dibawain. Eh lha kok sekarang, saya didaulat benar-benar menyanyikannya versi Cross Bottom asli....

Hehe, nggak nyangka dan nggak pernah direncana, selang waktu 5 tahun ini membawa banyak hal yang luar biasa. "9 tahun" yang dulunya saya nyanyikan di trotoar Malioboro, kini saya menyanyikannya di panggung dengan atribut vokalis Cross Bottom (walau cuma additional player). Belajar dari pengalaman itu, saya benar-benar percaya bahwa hari depan adalah memang unpredictable, Tuhan sudah menuliskan buku waktu takdir kita, jangan pernah berusaha mengintipnya, apalagi mendebatkannya...

Senin, 31 Mei 2010

Indonesia Raya

Event : Workshop APPI , Melia Purosani, 26 Mei 2010

My Quickest Job.....1,5 menit, 1 lagu, menjadi dirigen lagu Indonesia Raya.
Tantangan baru, dadakan, pertama kali seumur hidup, paling aneh, paling nervous...benar-benar pengalaman baru.

Kamis, 20 Mei 2010

Maliq & d'essentials dan Pensi

Event : Earthernity Fest, Geografi UGM, 8 Mei 2010

Pensi lagi...kali ini di Geografi UGM. Belakangan ini, band saya sering dapat job pensi (pentas seni), istilah trend yang artinya mengacu pada pergelaran acara band di sekolah dan kampus-kampus.

Susah dan repot...bagi Jasmine, yang notabene adalah band ngamen reguleran dan band mantenan, perform di pensi kayak gini selalu menghadirkan ke-kagok-an pada penampilan kami. Terutama bagi saya, ada kewajiban untuk harus njoget di panggung.....damn, sesuatu yang tak perlu dilakukan saat perform di event wedding dan akustik reguleran (duduk). Keriwehan pensi lainnya, harus lebih concern juga sama fashion style di panggung, konsekuensi pentas disaksikan anak-anak muda yang update dandan....

Se
mua itu gara-gara Maliq & d'essentials....Sekitar akhir tahun lalu, untuk pertama kalinya Jasmine tampil di arena pensi, sebagai band pembuka Maliq & d'essentials. Saat itu kita dituntut untuk ngejazz juga, biar match dengan konsep acaranya....Agaknya acara tersebut berimpact positif buat Jasmine, banyak orang kemudian melabeli kita JAZZ. Padahal ya....ambyar lah jazz kami ini, dan itu juga agak membingungkan karena mau nggak mau banyak lagu yang dipaksa dijazzkan ala Jasmine...Dan band saya diimagekan sebagai band Jazz, padahal sumpah, tak satupun dari kami yang donk dengan genre pating clekunik tersebut, baca not balok aja nggak bisa (kecuali wasis-drum), apalagi main jazz...jadinya ya asal-asalan gitu lah...

Semenjak kejadian Maliq tersebut, undangan performs di pensi kampus-kampus mulai berdatangan, semenjak itu pula kami diharuskan menjaga image agar tetep capable untuk dibilang jazz....Sebagai pendatang baru di dunia pensi, canggung lah kita ini. Bingung dengan prosedur band panggung yang harus repot cekson, songlist, meeting LO, dan ruang transit artis. Hehehe...asal tau aja, kalau panitia-panitia pensi itu selalu heboh dengan Jasmine. Dianggapnya kami tuh band kondang, padahal yo tetep wae kere...Pertama, mereka pasti sibuk minta logo kita untuk publikasi di poster acaranya, repot mendata berapa jumlah kru jasmine (padahal kami blas nggak punya kru, nggak kuat bayar), selalu bingung tanya apa raidersnya jasmine--kita nggak pernah minta apapun selain air putih (dan fee tentunya)--, heboh nyediain ruang transit khusus buat artis-- yang juga nggak pernah kita tempati--, kemana-mana selalu dikawal LO, dan inilah yang paling menggemaskan : dimintain tanda tangan plus foto-foto dengan penggemar...heerrrgh malah malu saya....

So, ya beginilah...band manten ngrasain main pensi...malah bingung dan canggung dengan perlakuan istimewa para panitia gitu.... bola-bali cah ngamen, kagok dengan "aturan-aturan" kayak itu, enjoy terbawa pragmatisme : datang, nyanyi, bayaran, pulang...dah gitu aja...

Jumat, 07 Mei 2010

Mr. Guitar Plays Satisfaction

Event : ESIA, BNI UGM, 24 Maret 2010

Ini tentang gitaris saya. Pram namanya. Gitaris yang paling 'cool' yang bekerja sama saya. Pokoknya paling klop deh, seolah-olah sudah terbangun chemistry yang oke antara kami berdua, apa karena tanggal lahir kami sama, 16 juni --dan kami baru ngeh sekitar setahun lalu, padahal udah kenal 7 tahun--. Kalau saya bilang, dia mengerti apa mau saya di panggung, dan begitu juga sebaliknya, seakan batin kami mampu berkomunikasi secara ajaib untuk saling mengisi kekurangan dan kelebihan kami di panggung.

Saya mengenalnya ketika masa awal kuliah. Pada saat itu Pram sudah lumayan legendaris di kampus. Pertama nonton dia manggung, saya kagum dan membayangkan, hmm suatu saat harus main sama dia nih....dan angan-angan itu terwujud sekarang.

Saya masih ingat betul ketika pertama kali mengajaknya untuk tampil berdua di Empire kalau nggak salah tahun 2006. Sore sebelum tampil, kita ketemuan, saya ingat jelas gimana sikap underestimatenya pada kapabilitas menyanyi saya. Ya iyalah, secara dia belum pernah lihat saya nyanyi, tiba-tiba main bareng gitu. Tapi alhamdulillah, show pertama kami berdampak positif hingga berwujud formasi Jasmine sekarang.

Kami sering hanya tampil berdua (gitar dan vokal) seperti ini. Penampilan Pram selalu mengesankan dan atraktif banget menurut saya, kompak deh pokoknya, walaupun sering banget juga sih berantem saling adu kepala yang sama-sama terbuat dari 'semen' ini.

Tapi di luar itu semua, dialah partner terbaik dalam proses kreatif bermusik saya, karena itu tadi, seolah ada sesuatu hal ajaib yang mempersatukan panampilan kami di panggung...kalau pas lagi akur...hehe

Rabu, 31 Maret 2010

I'm Home

Event : Discovery Of Culture, FIB UGM, 20 Maret 2010

Saya pulang. Inilah salah satu rumah bermusik saya. Fakultas Ilmu Budaya UGM--dahulu kondang dengan nama Sastra UGM--. Tempat tujuan pertama saya untuk menggantungkan impian sebagai musisi, tempat debut saya bernyanyi.

Saya selalu sangat emosional bila "harus" manggung di Sastra, dan saya yakin beberapa personel Jasmine juga merasakan hal yang sama. Jasmine berasal dari sini. Saya, Pram, dan Prancis adalah mantan mahasiswa di Sastra, yang akhirnya memilih menjadi musisi, sebuah profesi yang sempat "bikin heboh" dan menjadi cita-cita separuh orang yang saya kenal di kampus ini.

Kampus Sastra "pernah" sangat diakui dan terkenal sebagai salah satu barometer dunia band-band-an di Jogjakarta. Pada tahun '90-an dan awal 2000-an, hampir semua penikmat musik Jogja mengenal Sastromoeni, salah satu ikon band Sastra UGM, dan diikuti dengan mengorbitnya nama band-band populer Sastra. Itulah yang membuat saya memutuskan untuk kuliah di sana, pada waktu itu salah satu alasan saya adalah agar bisa belajar jadi musisi--setelah gagal tes seleksi masuk ISI Jogja--. Dan woooow...inilah dunia yang saya cari, pergaulan anak band yang membuat saya sangat bersemangat untuk ke kampus, bukan untuk kuliah, tapi untuk ngeband hehe....

Pada awalnya saya membentuk band dengan teman satu kelas, dan kepingin unjuk gigi pada para musisi senior di Sastra yang udah ngetop pada saat itu (salah satunya adalah Pram dan Prancis), agar bisa diterima dan eksis dalam komunitas mahasiswa "keren". Under estimated dan rejection, adalah resiko bagi seorang newbie di "school of rock" ini, taulah dengan pola-pola senioritas kakak kelas, apalagi untuk mahasiswa angkatan baru. Dan ternyata memang butuh waktu lama untuk membuat mereka sadar bahwa saya ini bisa bernyanyi. Berbagai cara saya lakukan untuk itu, mulai dengan menggondrongkan rambut, mencoba berdandan kayak "mereka", dan mencuri-curi kumpul ikutan nongkrong. Iklim tersebutlah yang memacu cita-cita saya--tapi tidak untuk perkuliahan saya--, dan saya melewati tahun-tahun berproses di Sastra dengan bergabung pada berbagai band, berbagi "pelajaran" ngeband dengan banyak orang, hingga bersaing dan bermusuhan dengan sesama anak band juga hehe..... Pokoknya komplitlah lika-liku dunia ngeband itu.

Tapi pada akhirnya, di antara banyaknya teman yang berniat menjadi musisi itu, hanya sedikit yang masih bertahan nekad ngeband sampai sekarang--yang lainnya mentas karena lulus kuliah dan insyaf--. Yah, saya termasuk orang yang terjerumus ke situ, dan susah untuk berpindah ke lain profesi. Jasmine, adalah salah satu band yang lahir dan masih tetap eksis (walaupun sudah berkategori uzur) di kampus ini. Namun, kami malah jarang-jarang tampil di sini, kayaknya baru 2 kali deh kita tampil pada event "serius" Sastra--terakhir kita main di sana tahun 2009--. Kami bergerak di luar kampus, walaupun tetap nongkrong di sana juga, tapi nggak tau kenapa kok kita jarang berjodoh dengan schedule event di Sastra. Makanya, saat tampil kemarin, muncul kerinduan bernostalgia dengan atmosfer kesenian di sana.

Saya justru sangat grogi untuk tampil di sana, selain euforia reunian dengan teman-teman jebolan "progam studi ngeband", ada kepentingan sentimentil saya dan Jasmine untuk mempertontonkan sesuatu yang "hebat", karena sudah terlanjur dicap sebagai musisi Sastra generasi tua yang eksis berdengung--selain caper sama adek-adek kelas tentunya hehe--. Kami harus tampil ngangkat, itulah harga mati sebagai konsekuensi band alumnus komunitas musik Sastra. Berat memang, dan semuanya harus kami persiapkan dengan baik, mulai dari nuansa songlist, kostum, blocking panggung, huuufffff....butuh konsentrasi tingkat tinggi. Fatal hukumnya jika sampai salah main atau tampil jelek di Sastra, salah satu gigs yang selalu saya rindukan, dan sangat emosional. Karena bagi saya, tampil di Sastra ibarat seorang perantau yang mudik pulang kampung dan harus menunjukkan suatu kesuksesan....

Selasa, 02 Maret 2010

From This Moment

Event : Wedding, Kagama, 28 Februari 2010

Lagu ini adalah lagu wajib saya untuk perform acara wedding. Selalu saya nyanyikan sebagai lagu pembuka, kadang sebagai lagu pengiring parade penganten menuju pelaminan. Memang tidak sebagus Shania Twain sih, tapi paling tidak sedikit terbangun aura romansa untuk membuka sebuah perayaan bersatunya kisah asmara dua manusia terpelai.

Lagu yang sakral menurut saya. Saya selalu serius penuh penghayatan ketika menyanyikannya di wedding. Bahkan sempat saya membayangkan, saat saya nikah nanti, akan saya nyanyikan sendiri lagu ini, nggak rela saya kalau lagu sebagus ini dinyanyikan orang lain. Lagu yang keren....dan saya selalu puas apabila lagu ini disambut senyuman bahagia klien (kedua pengantin) saya.

Tapi lagu ini juga kadang diiringi isak tangis...

Saya nggak tahu itu air mata haru bahagia atau pilu derita. Tapi dada saya pasti gemetar bila lagu ini mengiringi acara sungkeman (kedua pengantin sungkem di depan kedua orang tua masing-masing). Moment itulah yang menurut saya paling tragis. Bahkan saya selalu merasa sesak nafas ketika acara tersebut berlangsung, namun harus tetap menjaga ritme lagu yang saya nyanyikan.

Pasti jadi adegan tangisan! Saat anak dan orang tua saling mengucap maaf dan memohon ijin untuk merelakan perubahan status dari anak kecil menuju kemandirian rumah tangga. Saya sering tak sampai hati untuk membuka mata, saya kadang lebih memilih bernyanyi sambil pura-pura konsentrasi pada lembaran lirik di stand partiture, daripada harus menyaksikan adegan tersebut. Saya terlalu sensitif dengan urusan tersebut, dan selalu terbayang, bagaimana ya nanti hebohnya acara sungkeman From This Moment saya, ketika saya harus sungkem dengan orang tua yang sudah tidak lengkap lagi, dan memohon maaf atas semua kesalahan yang telah saya lakukan selama ini terhadap ibu dan keluarga saya....huuuh, saya pastikan saya akan menangis...tapi tetap akan saya nyanyikan lagu tersebut untuk istri saya, dengan sentimentil....

Sabtu, 27 Februari 2010

What's Next...?

Event : Alpenliebe Band Competition 2010, USD, 25 Februari 2010

Jasmine menang....saya juara...saya yang terhebat....!!!

Hehe, artikel ini akan saya jadikan ajang meluapkan semua kebanggaan dan kesombongan saya...

Ya, saya nomer satu! Begitulah hasil penilaian dari mas juri kompetisi band yang saya ikuti kemarin. Dan, band saya menjadi juara. Diri saya berpesta, senyum saya berjingkrak di bahagia saya.

Hampir separuh hari kompetisi diguyur hujan lebat, lapangan becek, panggung basah, dan pasti...tidak ada kerumunan penonton di depan stage. Jasmine didaulat membawa 2 lagu sendiri pada lomba yang diikuti puluhan band dari Jogjakarta dan sekitarnya itu. Sebenarnya kami tidak terlalu berekspektasi pada lomba tersebut, tapi kita tetap berusaha tampil maksimal karena nggak enak sama pihak sponsor yang telah mendaftarkan band kami.

Lagu lancar, orang-orang appreciate, tenang di panggung (karena lagi-lagi kerja bareng pacar), tapi ini tanpa kolusi lho...dan setelah manggung langsung pulang. Sore hari saya datang lagi ke venue berniat manjemput pacar, eh lha kok malah pas pengumuman, dinyatakan sebagai juara 1 lomba. Kebetulan...alhamdulillah...berhadiah...kondang...bangga...bingung...

"Kok bingung, kan habis menang?"

Itulah...Saya bingung dan terbebani dengan predikat juara ini. Hasil lomba tersebut telah membawa saya ke level yang lebih tinggi dalam progres kehidupan musik saya. FYI, ini adalah kompetisi band kali kedua sepanjang karir musik saya, dan semuanya menyabet nomor satu. Sebagai orang yang keras kepala, saya berprinsip untuk tidak pernah balik kucing. Nah, karena kekerasan hati saya itulah, makanya kali ini saya bingung....karena nggak mungkin untuk turun ke level sebelumnya, harus berada di level juara ini dan higher level lagi.

"Kenapa kemarin ndadak juara ya...???"

Gelar ini menjadi beban buat saya. Gimana enggak?, orang sudah terlanjur tahu kalau saya juara, nggak mungkin dong ke depannya saya nyanyi dengan kualitas tidak juara, mau nggak mau saya harus selalu tampil selayaknya juara...Huuuuh berat, harus menanggung beban dari ekskalasi status ini, harus serius berjuang menunjukkan apa lagi pencapaian saya berikutnya, yang tentunya harus lebih baik.

Saya mencoba membesarkan hati saya dengan positive thinking bahwa ini adalah ujian dari Tuhan. Saya sudah tidak bisa mundur lagi, menjadi PR buat saya tentang bagaimana harus mempertanggung jawabkan gelar juara ini, menjadi motivasi agar saya berjuang untuk lolos dari cobaan ini, dan menjadi kawan baru untuk menghadapi tanda tanya besar dalam menanti nukilan-nukilan takdir pada cerita hidup saya ke depan...what's next?

Selasa, 16 Februari 2010

Penonton

Event : Wedding, UIN, 23 Januari 2010

Saya terkejut ketika ada seorang perempuan menyodorkan sebuah mangkok sup berisi beberapa lembar uang ribuan dan recehan di depan panggung. Hualaahhhh...tak bisa menahan tawa dan dongkol, padahal sedang konsentrasi ama lirik. Ulah perempuan tersebut, disusul beberapa jepretan kamera dan gelak tawa dari segerombolan manusia di tengah gedung, menjadi tambahan hiburan pada event wedding kali itu. Mereka puas, karena sukses ngerjain saya, tertawa karena berhasil menggangu konsentrasi bernyanyi saya, dan bangga mempermalukan saya di depan ratusan orang.

Mereka adalah teman-teman saya, yang kebetulan hadir pada wedding ini. Sering banget mereka berulah, di manapun saya tampil. Bahkan pernah suatu ketika, seorang teman bersimpuh menyodorkan sebungkus roti tawar ketika saya sedang bernyanyi. Apa maksudnya? yaaaah...untuk ngerjain, atau mungkin balas dendam pada saya karena saya juga suka mengusili mereka. Lepas dari semua tingkah gila mereka, saya mencoba positive thinking kalo mereka tuh sebenarnya mencurahkan perhatian pada saya, mereka care ama saya, hanya saja wujudnya tak lazim.

Ngomongin soal perhatian, pada dunia yang saya geluti ini, perhatian adalah sama dengan penonton. Penampil dan penonton adalah interaksi timbal balik yang saling membutuhkan untuk menegaskan peran. Penonton yang menyaksikan saya nyanyi, yang sampai saat ini kalo dijumlah mungkin lebih dari ribuan orang (sombong bgt ya...itu kira-kira akumulasi dari tahun 2005). Penonton --belum tentu penggemar lho-- beragam jenisnya, baik itu asalnya, statusnya, kelas sosialnya, gendernya, dan lain-lainnya. Dan kali ini saya akan mencoba mendefinisikan dan mengklasifikasikan orang-orang yang pernah menonton saya tampil, sesuai dengan tingkah lakunya.

1. Penonton Prospektif
Tipe penonton ini adalah orang yang secara seksama memperhatikan setiap detail penampilan saya, dan mencatat kekurangan dan kelebihan saya. Mereka biasa mengambil posisi jauh dari panggung, dengan tangan bersedekap, atau satu tangan memainkan dagu, posisi duduk ato berdiri tenang. Orang-orang penilai ini, biasanya adalah calon klien, atau dari suatu EO, yang punya kepentingan mengaudisi cocok atau tidaknya saya untuk kepentingan bisnis mereka.

2. Penonton Agresif
Mereka akan berjoget dan ikut bernyanyi di depan panggung. Ada golongan yang agresif karena alkohol, reggae dan rock n roll, ada juga yang keracunan suasana--mau nggak mau harus ikut joget--. Kelompok kedua itu biasanya terdiri dari (malahan) para bos dan executive berumur yang berjoget karena lagu dangdut. (Biasa ditemui di acara-acara internal sebuah perusahaan).

3. Penonton Atraktif
Ini mungkin yang dinamakan fans...Karena mereka ini biasanya akan mengelu-elu nama saya (berasa mirip Ariel Peterpan hehe...), minta foto, nomer hp, dan caper-caper...biasanya cewek-cewek sih, walaupun pernah beberapa cowok juga yang termasuk--yang membuat saya takut malahan--.

4. Penonton Militan
Mereka hampir nggak pernah joget, teriak-teriak atau minta foto...tapi mereka hampir selalu ada dalam setiap penampilan Jasmine. Mereka selalu update schedule kami, dan marah bila saya tampil tanpa ngabarin mereka....Penonton semacam inilah yang benar-benar saya anggap kawan setia, saya salut atas loyalitasnya yang tanpa pamrih, pada penampilan saya. Terima kasih mbak Echi dan kawan-kawan...

5. Kawan atau Lawan
Inilah jenis penonton paling aneh....Seperti yang saya ceritakan pada awal artikel ini. Mereka teman-teman dekat saya, yang selalu berulah ketika menonton saya, mulai dari tragedi duit receh itu, roti tawar, ngulik efek sound system yang bikin suara saya ngecho nggak karuan, ngliatin gambar bokep pas saya nyanyi sehingga konsentrasi buyar, selalu ngece dengan komentar yang sadis dan jahat, dan banyak lagi yang pokoknya usil dan jail...tapi saya tahu, mereka sayang sama saya....hehe

6.Penonton Istimewa
Yang ini selalu ikut, tapi jarang-jarang notice ama aksi saya di panggung, bahkan cuek sambil mainin fesbuk, tapi kadang menjadi penepuk tangan pertama saat penampilan saya garing, dan dia selalu memuji saya sepulang panggung walaupun sudah jarang terkesima. Dia setia menemani kehidupan kesenian saya, dialah kekasih saya.

Selasa, 09 Februari 2010

Kerja Adalah Cinta

Event : Samsung, Amplaz, 23 Januari 2010

Saya sedang menonton bioskop bersama Santi Zaidan saat hp kami berdua berdering berurutan. Terganggu sih memang, karena lagi asyik nonton kok ada telepon, tapi harus diangkat karena kayaknya penting. Ehh ternyata kami berdua ditelepon oleh orang yang sama, dapat tawaran job di tempat yang sama, dan tanpa banyak basa-basi dan nego yang alot, kami langsung meng-iya-kan tawaran itu karena tau bahwa saya akan ngejob bareng dengan pacar. Fyi...saya punya pacar yang berprofesi sebagai MC...hehe.

Kerja adalah cinta, penggalan kata-kata dari Sang Nabi-Kahlil Gibran sebagai judul di atas, mempunyai banyak korelasi dengan situasi saya saat itu. Gimana nggak, saya bahkan hampir nggak peduli dengan jumlah fee yang ditawarkan sang penelpon tersebut, dan nggak ngeyel pada rundown yang sudah dibuat, walaupun untuk event tersebut saya harus nyanyi 3 sesi dalam sehari (biasanya saya pasti sudah ribut dengan organizernya untuk masalah rundown dan fee). Begitu juga dengan pacar saya, dia juga nggak ada masalah meski dapat jatah ngeMC seharian. Saya jadi berpikir, apakah apa yang kami lakukan ini profesional? Bahaya kalo sampai para EO itu tahu kelemahan saya ini, pasti akan sering ada job "paketan" nyanyi dan MC ini yang karena kerja ama pacar trus harga murah gapapa...

Memang terasa "beda" saat kita bisa bekerja dengan cinta (dalam konteks saya adalah pacar), beruntungnya saya, di dunia panggung nggak ada aturan seperti kebanyakan perusahaan yang melarang pasangan kekasih/suami-istri untuk bekerja bareng. Saya jadi membayangkan masa jaya Anang dan Krisdayanti...hihi...Apakah mereka juga lantas mau dibayar murah untuk job "paketan"....??!!

Dalam pelajaran teori pekerjaan dan celoteh dari para motivator di televisi, menyarankan agar kita mencintai pekerjaan kita, mengerjakan apa yang kita cintai, supaya memperoleh suasana yang bagus untuk mengoptimalkan produktifitas.

Saya cinta nyanyi, dan saya juga mencintai "partner" kerja saya, so...suasana kerja saya untuk event ini berarti oke banget. Dan saya yakin kok, mau kerja dimanapun, kalau kita berhasil dapat mood yang bagus, pasti kerja menjadi sesuatu yang tidak membebani, apalagi termotifasi oleh penghasilan yang gede, pastilah kita ini tambah semangat.

Job desk, partner/lingkungan kerja, duit, kayaknya ketiga hal tersebutlah yang jadi pertimbangan utama setiap orang, walaupun tidak selalu beruntung bisa jatuh cinta untuk ketiga hal tersebut. Trus gimana ya seandainya pekerjaan saya tidak nyanyi, tidak duet sama pacar, apakah saya tetap akan bekerja dengan cinta? atau hanya sekedar mencintai perut saya yang isinya didominasi sebagian besar gaji saya? gimana kalau kebutuhan jiwa saya akan "mencintai kerja" tidak terpenuhi...?

Yang saya takutkan dari suasananya kerja yang nggak enak, atau jenis pekerjaan yang membosankan, adalah menurunnya kualitas kerja saya, padahal rejeki mungkin datang pada hal-hal yang tidak kita cintai. Mungkin saja suatu hari nanti saya tidak dapet duit lagi dari nyanyi, dan memenuhi kebutuhan anak istri saya dengan bekerja sebagai PNS--nauzubilah minzalik--.

Kalau sudah begitu, apa ya trus saya akan menafkahi keluarga saya dengan menggerutu setiap hari?
Atau mungkin nanti saya akan jatuh cinta setengah mati pada pekerjaan yang memberikan saya rumah di lokasi elit, mobil baru, motor trail, biaya sekolah anak yang terjamin, meski job desknya membosankan dan suasana kerja yang kur-ok?
Trus, saya masuk kategori yang cinta kerja karena duit, atau cinta kerja karena cita-cita?

Saya juga nggak tau gimana harus menyikapi bila itu terjadi, tapi pada perjalanan pulang dari panggung ngejob "paket" itu, saya teringat pacar saya ngomong,

"Mas, jangan lupa bilang alhamdulillah...."

Sabtu, 06 Februari 2010

Lagu Kebangsaan

Event : Nokia, Amplaz, 24 Januari 2010

Lagu kebangsaan.
Itulah sumber masalahnya. Yang bermasalah itu saya. Saya kecewa pada diri sendiri. Pada event ini, request dari penyelenggara sebenarnya sudah jelas dan sudah dibrief seminggu sebelum hari H, yaitu harus menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu lain yang berbahasa Indonesia.

Mental pongah dan jumawa saya mengiringi perjalanan ke tempat manggung. Saya merasa, akan sangat mudah bila "cuman" menyanyikan lagu-lagu tersebut. Latihan pun hanya dilakukan 10 menit sebelum naik panggung, dengan gitar bolong di belakang panggung (jangan ditiru!!! ini ternyata bukan karena saya hebat, tapi karena sok jago, congkak, sok menggampangkan dan meremehkan masalah).
Bahkan kalimat sombong inipun,"walaaah, gampang...wong cuman lagu-lagu Indonesia gitu kok", sempat keluar dari mulut saya. Huuh, saya menyesal (dan merasa menjadi orang hina) karena melakukan itu semua.

Alhasil, keadaaan kacau dan memalukan ketika saya terjebak dalam "kelupaan", saat lagu legendaris Kebyar-Kebyar ciptaan (alm) Gombloh mencapai pertengahan, setelah reff. Sudah berusaha menutupi kesalahan dengan improvisasi semaksimal mungkin. Tidak berhasil, dan berlanjut (lagi) pada 2 lagu kebangsaan selanjutnya, Garuda di Dadaku (Netral), dan Bendera (Eross).


Mungkin inilah hukuman untuk sifat buruk saya yang selalu memandang sebelah mata lagu-lagu dengan lirik kebangsaan. Saya mendadak merasa berkhianat terhadap negeri ini, saat ternyata lebih hapal menyanyikan lagunya Jason Mraz atau The Beatles. Belum seberapa, penyesalan itu melayang ke pikiran yang lebih jauh lagi, apa jadinya kalau suatu saat harus menyanyikan lagu-lagu daerah, misalnya tembang macapat (tembang Jawa). Pasti akan lebih mati kutu.

Tidak perlu menyalahkan SBY, Jero Wacik, anggota DPR, dosen, guru, televisi, internet, Amerika Serikat, atau siapapun, dan ataupun mencari alasan apapun untuk "ketidak bisaan" saya menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, yang notabene adalah lagu dengan bahasa yang sudah saya pelajari dari TK. Atau kalau mau fakta yang lebih mencengangkan lagi :

"Saya Paksi Raras Alit, lahir dan besar selama 24 tahun ini, di Jogjakarta, Sarjana Sastra Jawa (7 tahun kuliah), profesi penyanyi, tapi tidak bisa nembang bahasa Jawa (alasan saya adalah lupa). DAN SAYA SANGAT MALU."


Kamis, 04 Februari 2010

Seniman, Waktu, dan Senyuman ( 2 )

Event : Pameran Seni Rupa, Bentara Budaya Yogyakarta, 8 januari 2010

Kali ini (mungkin) saya yang salah. Hampir terjadi selisih paham yang wagu antara saya dengan kawan-kawan penyelenggara acara di Bentara Budaya.

Alkisah tentang (lagi-lagi) seniman, topik kali ini tentang cara komunikasi. Ini (mungkin) karena intuisi saya yang kurang peka dan belum terlatih untuk merespons omongan para senior saya. 2 hari yang lalu--pada event Biennale di stasiun Tugu-- saya bertemu dengan mas Felix (seorang perupa) dan terjadilah "pembicaraan" yang intinya meminta bantuan saya dan mas Encix untuk tampil pada opening pameran seni rupa di Bentara Budaya. Singkat cerita, mungkin disebabkan obrolan kami yang terlalu pede dan terlalu mengandalkan indera keenam untuk menangkap maksud masing-masing, maka tidak menyatulah rumusan obrolan tersebut --tentang detail teknis acara--.

Sehari setelahnya, kami --saya, mas Encik, dan mas Felix-- masih terlibat kontak via sms tentang rencana acara di Bentara itu, dan isi smsnya pun sama sekali (menurut naluri saya) belum menjelaskan teknis acara besok. "Ya sudah", pikir saya, berarti tinggal menunggu kabar selanjutnya. Sampai pada Jumat (8/1) jam 19.25, saya dan otak saya masih sepakat untuk berpikir bahwa acara ini cancel, karena tidak ada kabar. Eeeeh...lha kok pucuk di cinta ulam tiba, telepon berdering, dari mas Felix yang kira-kira begini bunyinya "kok durung teka, wis dienteni kanca-kanca neng Bentara".

Bagai pemadam kebakaran, atau dokter ICU, atau tim Gegana, atau bencong digrebeg Pol PP, saya bergerak secepat kilat...dalam waktu 15 menit saya sudah sampai Bentara Budaya, itupun sudah termasuk mandi, dandan, ngontak (plus dipisuh-pisuhi) mas Encik, dan siapapun player Jasmine yang lagi free.

Acara akhirnya dimulai (opening diundur karena menunggu kehadiran band...hehe) dan sekali lagi saya menemukan spirit yang sama dengan acara Biennale 2 hari lalu. Bedanya kali ini, lebih banyak "additional" player yang ikut naik panggung --banyaaaaaak banget...tanpa berkenalan, tanpa latihan, dan tanpa "sinkronisasi" tentunya-- dan tak satupun panitia yang menyusun rundown. Bentara Budaya malam ini meriah....penuh canda tawa, gojekan, saling ngerjain satu-sama lain, pemain dan penonton ambyur akrab jadi satu, seolah-olah sarana melepas stress (sejak kapan seniman stress???), tapi tetap serius saat memberi tepuk tangan pada performer di panggung.

Gelaran "apresiasi kecintaan akan seni" inipun berakhir ketika saya sudah capek nyanyi--jam 10 malam lebih--. Tidak ada rules untuk malam itu, kecuali semua yang anda lakukan di atas pentas harus bernilai artistik...(ambigu).

Saya heran dengan komunitas ini, padahal nggak ada undangan resmi, tapi solidaritas dan pengartian "setia kawan" antara para seniman itu begitu dalam. Saat salah satu "anggota" punya hajat berkesenian, (di manapun itu, asalkan terjangkau) maka teman-temannya pasti akan hadir --walaupun cuma datang untuk gojek dan gojek lagi--. Tapi saya berani jamin, (gojek) itu dilakukan dengan sangat tulus, semata-mata untuk menghargai hajatan/karya kawan.

Rasa handarbeni yang aneh akan arti "komunitas seniman".....

Seniman, Waktu, dan Senyuman ( 1 )

Event : Biennale 2010, Stasiun Tugu Yogyakarta. 6 januari 2010

Ini bukan berniat mendiskreditkan Seniman! Karena mau nggak mau (susah untuk memungkiri atau lari dari kenyataan ini...) saya juga sudah terlanjur dicap sebagai salah satu seniman, walau masih newbie dan belum menyumbang karya yang signifikan pada dunia ke"seniman"an ini. Tapi saya tetap bangga kok mengaku jadi seniman, bila berada di waktu, tempat, dan ketemu orang yang tepat...hehe...

Begini ceritanya, hari Selasa (5/1) tengah malam, saya dibangunkan oleh telepon dari mas Encix (seniman senior yang entah anda tau atau ngga...) yang meminta bantuan saya untuk terlibat dalam suatu rangkaian acara Biennale keesokan harinya. Dadakan memang, dan seperti biasanya ketika kami ngobrol, jarang-jarang terumuskan hal serius dan terstruktur, pasti lebih banyak gojeknya, tapi dari percakapan singkat itu sudah dapat saya bayangkan bagaimana teknis acara keesokan hari tersebut, karena telah keluar beberapa kata kunci "tulung...guyub...demi komunitas...acarane nyante kok...sesuk tak kabari meneh...". Bagi anda yang hobi bersosialita dengan kalangan seniman, atau paling ngga anda punya teman dengan spesifikasi gapyak, humoris, nyentrik, dan temannya banyak banget, pasti anda juga sudah bisa menggambarkan maksud perkataan si mas Encix tadi.

Saya datang ke venue yang sudah dijanjikan tepat jam 13.35, karena "briefing" via phone semalam katanya saya mulai nyanyi jam 14.00. Apa yang terjadi...setelah berkeliling stasiun Tugu Jogja, tak satupun ketemu sebuah tempat yang mirip dengan panggung, ataupun orang yang mirip panitia. Saat hampir putus asa, nampaklah seseorang (kalo yang ini, tanpa perlu menginvestigasinya, anda pasti langsung yakin kalo dia seniman) gimbal, celana pendek sobek, dan bingung....dialah mas Samuel "gimbal", saya mendatanginya hendak bertanya, tapi sebelum sempat mulut ini berujar, dengan tersenyum santai dia berceloteh "sik ya, tak golekne panggon sing pas dinggo gawe panggung"......Tidak boleh marah! Itulah aturan tak tertulis dalam komunitas yang "luar biasa" ini. Kebetulan juga Pram dan Joko Prancis sudah datang saat itu, karena "orderan" semalem adalah : main dengan mengajak teman-teman Jasmine yang "bersedia" datang.

Jam 14.20, mas Encik nelpon, "le, acarane sido lho,mengko jam-jam 4an". "Jam loro lhooooo....." itulah jawabku, tentunya disambut suaranya terkekeh puas dan bahagia di speaker hanphone. 15 menit berikutnya, saya memutuskan untuk cabut dulu dari stasiun, untuk nyicil kegiatan lain. lha kok di jalan keluar stasiun papasan dengan pick up bermuatan sound system yang dikendarai orang gondrong dan lumayan lethek juga, tapi sumringah. Hmmm soundnya aja baru dateng...., saya mengestimasi waktu 2 jam sampai panggung dan sound benar-benar ready set.

Jam 16.30 saya datang lagi (saya pikir saya sudah telat), saat itu suasana di halaman sekitaran peron stasiun Tugu meriah banget. Bayangkan sejenak bila kampus ISI Sewon + Prawirotaman + Sosorowijayan + Taman Budaya Yogyakarta + stasiun Tugu, direlokasi menjadi satu tempat saja. Begitulah kira-kira keadaannya ketika stasiun tugu penuh dengan kumpulan seniman, bule, kanvas (plus pelukisnya), orang nongkrong, wartawan, dan beberapa polisi. Tentunya para pelancong yang baru saja turun dari kereta, pasti shock dengan suasana tempat saat mereka menginjakkan kaki pertama di bumi Jogja. Para penumpang kereta yang "takjub" itu menambah "kemeriahan" tempat itu. Saya sempat bercakap-cakap dengan salah seorang teman pelukis di situ, tentang 'apa yang ada dipikiran para penumpang yang turun dari kereta ketika mereka menyaksikan ulah kita'...yang menyambut kedatangan mereka dengan menegaskan jargon "Jogja Kota Seniman".

Jam 17.00 WIB, mendung, dan panggung (baru saja) siap. Hehe...harus ada pemakluman dan jiwa legawa dengan acara seperti ini. Saya sudah bersiap-siap ngejamm nyanyi, hari itu rencananya saya berkolaborasi dengan mas Encix n friends + Jasmine, tapi yang namannya tempat beranjangsana para seniman, akhirnya banyak juga personel musik yang bergabung dan menggilir microphone, sekalipun MC (yang juga giliran) sudah mempresent susunan penampilnya. Saya pun baru naik panggung jam 17.30 (dari "rundown usil" jam 14.00) dan dapat jatah sekitar 5 lagu.

Di tengah suara hilir mudik kereta (bisa bayangkan kan gimana berisiknya?) dan nada intro dari pusat informasi untuk kedatangan/keberangkatan kereta yang sangat khas dan sama di stasiun manapun di Indonesia, event itu akhirnya (jadi) dilangsungkan. Tapi jujur, suasana seperti ini yang saya suka, design venue (dan tentunya design "suasana") yang sangat-sangat-sangat...dan sangat artistik. Bayangkan, panggung kecil tempat saya nyanyi, dikelilingi puluhan kanvas dan pelukis plus modelnya --bapak walikota Jogja dan TNI juga menjadi modelnya--, trus dibelakang susunan lukisan tersebut, ada background puluhan penonton, hiruk pikuk orang-orang di stasiun, dan (jangan lupa) lagi-lagi suara kereta lewat yang selalu menelan suara saya ketika nyanyi. Itu untuk layout-nya, untuk aura ataupun suasana yang tercipta, huuuuf...eksotik, ceria, sumringah, guyon abisssss, pokoknya saya selalu suka jika berkumpul dengan seniman-seniman ini.

Akhirnya adzan Maghrib menghentikan semua kegiatan kita, harus segera pulang, karena malamnya ada jadwal reguler Jasmine. Padahal masih pingin ngobrol dan gojek bersama mereka...manusia-manusia yang mengabdi tulus pada seni, dan pada senyuman....


Orang-orang yang selalu tersenyum itu (bukan berarti gila, tapi ada juga yang memang bener-bener gila), saya bangga telah dilibatkan dalam kegiatan komunitas itu, walaupun :

1. Jam tangan seniman dan jam manusia umum itu kadang nggak sama.
2. Harus legawa dan pandak jika bercanda dengan mereka, jangan gampang kagol atau marah kalo digarapin...(meski anda harus datang 2 jam sebelum acara dimulai karena dikerjain).
3. Jika pingin menjalin hubungan dengan seniman, jangan pernah men-silent apalagi mematikan hp anda saat tidur, karena kadang jam 2 malam pun anda akan di telepon(yang seringkali cuman ngajak gojek).
 
Copyright 2009 PAKSI JASMINE. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan